Kamis, 13 Januari 2011

Parto Widjojo dalam kenangan

kakekku dulu menasihatiku agar jangan memberi nasihat kepada orang yang tak membutuhkan.hemat kata. hemat energi namun tubuhnya selalu bergerak. apa saja beliau lakukan saat inderanya menangkap ketidak beresan seperti hal-hal kecil. membersihkan debu di radio rallyn putih buatan jerman kalau tak salah ingat.

keteladanan selalu hadir ketika jauh.ketika sudah tidak ada lagi. beliau wafat disaat kondisi emosi sesaatku jenuh merawatnya. di saat-saat terakhir itu entah mengapa aku merasa bosan pada beliau. padahal saat-saat itu adalah saat dimana beliau penuh keramahan sifat yang jarang kudapat diantara sifatnya yang keras.

setengah ogah-ogahan aku menggosokkan kayu galih asem di tulang kakinya yang sering linu. galih asem hadiah dari besannya yang katanya bisa mengurangi rasa linu di tulang jika dipijaturutkan. galih asem yang entah mengapa selalu terasa sejuk di tangan itu kuurutkan setengah hati.bosan. beliau menatapku. akupun seperti mendapat peluang untuk mengelak dari pekerjaan memijit : " Pak....aku pamit mau kuliah." kataku. beliau mengangguk-angguk. aku pun lepas keluar rumah. kekampus yang sebenarnya tak ada jadwal kuliah hari itu.

di kampus aku ngeband.  walau sudah tahu ber'skil' pas-pasan aku punya kelompok band. menang gaya. berani karena nekad. puas teriak-teriak untuk tak menyebut menyanyi, aku jenuh lagi. merasa kosong.

siang itu pukul 14.00. walaupun matahari memancar panas aku merasakan seperti diselimuti kabut remang-remang. aku pun pulang setelah kehabisan ide untuk 'ngapain' lagi.aku pulang jalan kaki menyusuri rel kereta api, melewati kebun singkong sebelah tangsi tentara. menyusuri duri-duri putri malu. sesekali kaki terpeleset kerikil. tiba-tiba gelisah menggantikan rasa bosan. kupercepat kakiku.

gelisah terjawab bendera putih di depan rumah. bendera lelayu RT ku berkibar, berkelebat ujungnya serasa mencambuk hati, kibasnya memeras rasa.kupercepat langkah. menjemput suatu kepastian. kepastian yang enggan ku sebutkan. kakekku meninggal saat aku mengerjakan sesuatu yang tak ada artinya sama sekali. baik bagiku, keluargaku, orang lain bahkan puntung rokok.

beliau adalah pahlawan setidaknya untuk diriku keluargaku. dalam kehidupan yang selalu memaksa untuk berlaku sederhana. seorang petani dengan sepetak sawah yang jika dipanen hanya dapat gabah dua kwintal itu selalu berkreasi membuka jasa pangkas rambut yang langganannya para tentara ketika kutanya mengapa tentara jawabnya mencukur tentara tak membutuhkan keahlian khusus dan tak menuntut bentuk bagus. hmmm...keputusan cerdas.

anak-anaknya tumbuh hanya dengan belaian semangat. ada tujuh orang  meninggal satu saat kanak-kanak. dengan nenek yang selalu menerima keadaan apapun, membesarkan  empat laki-laki dua perempuan yang di kemudian hari semua lolos seleksi menjadi abdi negara., tiga orang polisi satu orang BUMN satu orang PNS dan yang ragil guru SD. keluarga yang bahu membahu sang kakak tertua setelah bekerja, menolong adik-adiknya untuk bersekolah. prinsip sederhana saat itu yang orang lain enggan memburu yaitu pendidikan. dan teladan pun menurun kebawah.

aku adalah satu-satunya cucu yang beliau besarkan dari kecil sehingga aku menyebut Bapak kepada Kakekku menirukan bulik menyebut beliau. Bapak yang setiap pagi menggendongku di pundak mengusir burung-burung emprit di sawah kecilnya. Bapak yang setiap menjelang tidurku menahan kantuknya untuk bercerita kancil nyolong timun, kancil menipu gajah, kancil menipu buaya. 

Bapak yang dimasa tuanya hobi baca koran, nonton bola bersepeda. Bapak yang berhenti merokok sendiri karena membaca dan Bapak yang tak mau kalah memukuli wajah orang yang menabrak sepedanya saat beliau menyeberang tanpa menoleh kiri kanan dan Bapak dalam beribu kenangan.

nisan itu kubiarkan saja disana di bawah rindang pohon randu alas.rumput mungkin telah meninggi. biarlah itu tak penting karena nisan sejati tertanam di taman hati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar