Jumat, 01 Januari 2010

satu sloki anggur merah


meja bundar itu masih miring seperti dulu
kursi patah-patah kaki berserak sana sini
sembilan sloki mengitari satu botol kosong-kosong
terbalut samar-samar sawang yang ditegaskan debu
seperti mematung kaku menunggu

hanya satu sajian utuh yang menghadap kiblat
tepat di sandaran tangan kanan kursi rotan besi
satu sloki anggur merah
dengan seekor capung hinggap mengharap
hingga seperti topinya dewa pewayangan

keputusan kuambil saat pesta belum kuselesaiakan saat itu

sepuluh orang sepuluh sloki
sepuluh sloki sepuluh topik
kami bicara

pertama, sepenuh angkuh memenjarakan tuhan
agar dosa terkucil pencil jauh mengecil pandang

kedua, ibu-ibu yang memarut batu memeras pasir
menyantan susu di tepi-tepi sungai

ketiga, bapak-bapak yang jegang bersarung main asap
sesekali mengibas-kibaskan merpati sampai mati menghujam bumi

keempat, pak lurah jago kami yang mengantar kacang goreng
dan segenggam roti dibagi rata sepuluh hingga menggelitik perut
gemakan tawa sepuluh kali sepuluh mulut

sloki kelima
pandangan mengabur otak terkubur
bersaut sendawa dan tawa yang tanpa bunyi
senang riang mengaduk hati
sepuluh senyum terpatri

keenam
sepakat satukan tangan
alirkan hasrat penyatuan aku adalah kalian
kalian itu pujaanku

ketujuh,
satu persatu mulut berganti bicarakan diri
sembilan pasang teliga mencermati
hingga lepas sudah sepuluh rasa

kedelapan,
gairah memuncak di ubun-ubun
saat membedah isi sepuluh buku
satu persatu dan tidak main-main
teriak-teriak garang mengerang
pecahkan kebekuan sastra yang teramat sulit dipahami

sloki kesembilan,
selepas beradu puisi
beradu sloki lepaskan denting kalbu
tring
saat datangnya sepuluh angan kekasih
bersayap selendang warna-warni
menari gemulai di bentangan padang rumput yang sejuk
meliak-liuk hingga ujung-ujung tubuhnya kentara
menuntun ke sloki terakhir, nikmat penghabisan
penghantar puncak khayal dalam buih-buih mimpi

sloki terakhir
sembilan tubuh terbang ke awang-awang
menjadi santapan pesta pora dewi-dewi birahi
panas membara melelehkan kunci penjara tuhannya

sloki terakhir
dalam baluran lembut sentuhan tangan dewi angan
menuntun sloki hingga tepat dimata
kulihat bayangan wajahmu di genangan merah bergoyang
menyenyumkan kasihan dan beratus ribu bisikan menghiba
jangan... jangan...jangan !

keputusan kuambil saat pesta belum kuselesaiakan
seberat hati melawan belitan tangan nafsu
kukembalikan sloki itu dimeja utuh penuh
berdiri tinggalkan sembilan keleparan tubuh yang sudah tak peduli

aku mengembara menggenggam kunci mencari
tuhan yang kupenjarakan

pernah ku jumpai:
satu sajian utuh yang menghadap kiblat
tepat di sandaran tangan kanan kursi rotan besi
satu sloki anggur merah
dengan seekor capung hinggap mengharap
hingga seperti topinya dewa pewayangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar