Senin, 07 Maret 2011

rindu yang menulis

Bismillahirahmanirrahim
Sudah lama aku tidak menulis, bukan tidak ada ide namun kesempatan dan keberanian untuk menyela waktu yang belum aku punyai. Tidak heran jika ada seorang penulis yang rela untuk tinggal di tempat yang sepi jauh dari keramaian hanya untuk menuangkan ide dalam rangkaian huruf-huruf. Aku bukan itu.

Menulis bagiku tak lebih dari mewakilkan teriakan. Dan karena sudah terbiasa menuliskan segenap ide-ide maupun rangkuman dari apa yang aku lihat, baca dan dengar, bisa pusing juga bila lama sekali tidak menulis. Kata salah satu sahabatku diibaratkan bisa gila kalau tidak menulis.  Namun beliau seorang penulis kenamaan yang karyanya bisa membuat kita terayun - ayun ombak ceritanya. Aku sedang belajar.

Tak  mudah memang dalam memulai menulis. Kadang satu paragraf kita hapus berkali-kali karena dirasa tidak sesuai dengan isi pikiran dan alur logika yang akan kita sajikan. Maka disini diperlukan energi dan waktu untuk mendapatkan urutan alur yang kita inginkan. Aku sedang ada waktu.

Dalam menulis kadang kata-kata mengalir begitu saja dan kemudian seperti mendapatkan sambungan-sambungan atara paragraf dengan sendirinya, saat ada kata-kata atau kalimat yang baru saja kita tuangkan. seperti contohnya pada paragraf diatas ada kata-kata 'kita sajikan', wow...tentu saja niatan menulis itu untuk disajikan kepada pembaca karena jika tidak maka akan sia-sia. maka dari itu niatkan untuk mendapat kebaikan saat memulai menulis agar dapat bermanfaat bagi pembaca atau paling tidak tanggapan sehingga akan menyempurnakan tulisan-tulisan kita berikutnya. Aku sedang mengharap kritikan.

Sesungguhnya segala sesuatu yang ada di sekitar kita bisa jadi bahan tulisan, dengan sedikit kreatifitas maka jadilah suatu cerita seperti saat ini aku sedang di depan komputer menggelitiki keyboard sambil sesekali meneguk teh botol dingin. Tahukah yang kubayangkan saat meneguknya? terbayang sales yang menaruh di toko kemudian pegawai pabrik yang tentu sedang bejibaku menjaga mutu, kebun teh dengan perempuan-perempuan pemetik teh yang berkulit putih bersih tertawa ceria bersendau-gurau dengan para mandor dan pegawai perkebunan, keakraban khas ramah tamah Indonesia. Aku tak akan membayangkan yang buruk-buruk karena teh ini sungguh segar hingga tak mungkin kiranya dibuat dengan sekedarnya. Kuyakin  diolah dengan sepenuh tulus  oleh semua orang yang terlibat. Itulah rangkaian kenikmatan yang halal. Glek...satu tegukan mengaliri kerongkongan menyejukkan pikiran.

Entah mengapa kemudian terbayang angsa Ibuku yang mati satu. Jantan. Katanya -saat aku sempat pulang menengoknya-, dia kedinginan karena tidak mau masuk ke kandang hingga pagi harinya ditemukan kaku. Merepotkan memang,  sampai Bapakku yang sudah tua itu membuat lobang untuk menguburnya. Tapi kesendirian angsa betina itu tak lama hanya beberapa jam saja karena begitu selesai mengubur si Jantan, Bapakku pergi ke pasar membeli angsa jantan yang katanya seharga limapuluh ribu rupiah. Bagiku sangatlah murah karena tak sebanding dengan bentuknya yang besar dan instingnya yang tajam karena selalu berbunyi saat mendengar suara kecil yang mengagetkan. Angsa itu mati tanpa ditangisi.

Salah satu kesulitan menulis tanpa konsep adalah ya seperti tulisan ini, coba bagaimana kamu menghubungkan antara paragraf dimana ada kebun teh kemudian angsa mati. Sepertinya akan membutuhkan energi lebih nih. saat menemui kesulitan seperti ini sebaiknya syaraf lidah di rangsang bisa dengan makanan kecil atau minuman yang tinggal seperempat botol kemudian sekarang aku berpikir untuk menambah satu botol lagi, tetapi bukan karena perempuan-perempuan pemetik teh yang putih dan sedang bergurau dengan pekerja pabrik, melainkan memang kini aku membutuhkannya.

Sudah lima menit aku berhenti memikirkan mau aku apakan teh  botol, sales, pegawai pabrik, mandor, pekerja perkebunan dan si putih tentunya, angsa, kemudian Bapak Ibuku yang sudah terlanjur aku jadikan tokoh dalam tulisan ini...hmmm. Ternyata butuh berbotol-botol teh atau makanan kecil untuk merangsang kerja otak agar meruncing ketajaman kreatifitas.

Aku yakin kamu pasti sedang menunggu cerita selanjutnya dari tokoh yang tak sengaja kusebutkan di atas. Namun bukan itu yang akan aku bahas dan uraikan tetapi topik yang sangat menguasai pikiranku saat ini adalah kerinduan akan menulis. Kerinduan akan barisan huruf-huruf yang manut saja akan aku apakan. Sungguh sangat berkuasa menjadi penulis, bisa sekehendak hati melakonkan irama pikirannya.

Aku bisa kembali kemana saja atau pergi kemana saja sekehendak hati, misalnya kembali ke botol tadi. Aku sudah menyanding dua botol satu kosong satu baru berkurang seteguk. Atau ke angsa yang mati nelangsa terpikir mereka adalah sepasang kekasih maka Bapakku segera pergi mencarikan pengganti agar kesedihan tak berlarut-larut, tetapi benarkah demikian? karena sepertinya si angsa betina tak terpengaruh sedikitpun. Nah ini menjadi menarik untuk dibahas. Belas kasih Bapakku yang keliru, atau mereka bukan kekasih atau bahkan tidak saling mengenal satu sama lain karena tak tampak sedikitpun sikap-sikap yang menunjukkan keharuan. kemudian akan menjadi tidak menarik sama sekali ketika kukatakan mereka itu adalah binatang. Kadang kita bertemu kalimat yang bisa merusak rangkaian imaji. Ujung kerah bajuku ketumpahan teh. Dingin.

Tanggungjawab seorang penulis paling berat adalah saat menutup ceritanya. Dari rangkaian cerita yang dialirkan harus bertemu di ujung karyanya. Harus mendarat dengan halus atau keras setelah angannya terbang kemana-mana sangat berhubungan erat dengan alur cerita yang telah dengan berani dibuatnya. Disini dibutuhkan ketajaman karena keadilan sangat dituntut oleh pembaca. 

Sebaiknya aku akhiri saja tulisan ini karena bila dilanjutkan aku takut akan merangkai kata yang tidak bermakna bersamaan dengan menurunnya konsentrasi karena letih. Untuk itu semoga apa yang kusajikan bisa bermanfaat setidaknya bisa membunuh masa senggangmu.
Alhamdulillahirahmanirrahim. Salam!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar